Aqnie Anne Lestarikan Budaya Jawa Lewat Markonah, Produk Mode Bergaya Milenial
TRIBUNJATENG.COM – Bagi Yuliani Aqni (40), perjalanannya dengan Markonah bukan sekadar urusan bisnis, melainkan juga dilandasi semangat upaya melestarikan budaya Jawa kepada generasi muda.
Upaya itu dilakukannya melalui produk fashion, yang memiliki kesan modern dan kekinian sehingga dapat diterima kalangan milenial.
Yuliani mengatakan, latar belakangnya sebagai seorang fashion designer selama ini melihat tren fashion yang mengusung budaya Jawa mulai luntur, bahkan perlahan dijauhi kelompok muda.
Apa penyebabnya?
“Minim inovasi,” katanya.
Kebanyakan, lanjutnya, mode dengan nuansa Jawa didominasi model wastra, seperti batik, lurik, tenun, dan lain sebagainya.
“Saya sebelumnya pernah juga menyasar segmen itu (wastra), tapi dalam perjalanan saya rasa kurang pas untuk anak generasi sekarang. Pertama, ya kesannya terlalu formal dan kurang bisa bergaya. Di pikiran anak muda, model wastra dekat dengan waktu kondangan atau acara formal lain, yang lekat ke orangtua,” paparnya.
Perempuan yang dikenal dengan nama designer Aqnie Anne itu menyatakan, atas dasar keinginan menghadirkan produk fashion tetap menampilkan budaya Jawa tersebut kemudian dirinya membuat merek fashion lokal: Markonah.
Markonah, kata dia, merupakan suatu simbol yang mewakili perempuan Jawa, tetapi dalam gaya berbusana selalu mengikuti tren kekinian.
Aqnie menambahkan, dalam setiap produk Markonah, baik baju atau dres maupun kebaya, dikombinasi dengan gambar sosok Markonah lengkap warna kuning terang.
Dalam produk itu tersemat tradisi atau cerita-cerita budaya Jawa, tetapi secara model trendi dibalut warna-warna terang lain sehingga terlihat lebih fashionable.
Branding media sosial serta foto modeling didominasi warna kuning dan ikon Markonah.
“Ditambah skill saya ini menggambar, bagaimana caranya ikut melestarikan budaya Jawa ya lewat desain-desain fashion yang kekinian, kemudian dipasarkan dengan sasaran kelompok milenial. Model pakaian kami buat seunik mungkin dan modern ala anak-anak muda zaman sekarang sehingga visinya mengenalkan budaya Jawa ke anak muda itu bisa kena,” terangnya.
Aqnie bercerita, tren fashion anak era sekarang lebih banyak mengacu ke K-Pop atau budaya lain dari luar negeri dan kurang meminati milik negeri sendiri.
Oleh karena itu, jika tidak ada pihak-pihak yang berusaha mengenalkan budaya Jawa ke generasi muda dengan dunia mereka sekarang, dikhawatirkan budaya Jawa tidak lagi dikenal dan kemudian hilang.
Sebagai seorang fashion designer, Aqnie merasa memiliki tanggung jawab untuk mengenalkan beragam budaya Jawa, salah satunya model berbusana dengan gaya modern yang sesuai zaman.
Sebab, lanjutnya, jika tren fashion masih berkutat pada batik, tenun, lurik, dan sebagainya diyakini anak muda tidak bakal tertarik.
“Sekarang kita mikirnya bagaimana itu pakaian tidak cuma dipakai pada acara kondangan atau kegiatan formal lain. Tetapi, mereka bisa bergaya di mana pun ke mana pun, misalnya ke mal, kafe, bioskop, coffee shop, dan sebagainya yang pasti mereka posting juga ke media sosial. Otomatis yang lain awalnya penasaran jadi pengin,” paparnya.
Aqnie mengungkapkan, untuk menangkap peluang hal-hal yang disukai anak muda diakuinya tidaklah mudah.
Pasalnya, tren di kalangan kelompok milenial itu seringkali berubah-ubah sehingga seorang fashion desainer harus cermat serta selalu mencari tahu beberapa hal yang sedang tren atau menjadi konsen mereka.
Mengatasi hal itu, Aqnie bersama tim rajin melakukan riset dan terus melakukan perbaikan serta membuat desain-desain yang sedang digandrungi atau dapat diterima anak muda.
Belakangan, lanjutnya, tren fashion generasi milenial lebih ke arah street style, yang memiliki ciri pakaian berwarna cerah dan memiliki beragam kombinasi, bahkan terkadang bentuknya nyeleneh.
“Sekarang ini outfit (pakaian) yang tren di mereka ini gaya street style dan hypebeast. Maka, saya harus bisa mengikuti bagaimana membuat produk tetap ada unsur Jawa, tetapi kece,” jelasnya.
Siapkan Paijo
Meski sekarang mayoritas produk masih menyasar kelompok milenial dan lebih khusus perempuan, kata dia, Markonah berencana mengeluarkan produk untuk laki-laki, yang akan diberi merek Paijo.
Selain nanti tetap akan memproduksi pakaian, Markonah juga akan dikembangkan ke aksesoeris lain, seperti totebag, tumbler, dan lain sebagainya.
Aqni menjelaskan, untuk sekarang dirinya masih fokus mengembangkan Markonah secara maksimal serta terus memperbaiki produknya ditambah menjajaki peluang kerja sama dengan banyak pihak.
Adapun, pakaian khusus laki-laki yang rencananya akan dilabeli Paijo itu tetap mengutamakan budaya Jawa lewat produknya, mulai kaus, jaket, kemeja, hingga topi.
“Kalau bicara bisnis pangsa pasar terbesar kami masih di area Jabodetabek. Kemudian rencananya kami juga akan hadir di Summarecon Mal Serpong, lalu pengembangan ke Jakarta juga. Tapi yang sudah pasti tadi ya dengan marketplace asal Thailand, Pomelo Fashion, di Kota Semarang kami ada di Hub Kreatif Kota Lama Semarang,” tandasnya.
Ekstrakurikuler Karawatan dan Menari Jawa
Tahun 2016 menjadi titik balik bagi Aqnie.
Sebelum membangun Markonah, Aqnie pernah memiliki bisnis butik.
Akan tetapi karena dianggap pangsa pasarnya kecil dan banyak pedagang dengan barang dagangan serupa, akhirnya usaha Aqnie bangkrut.
Sejak itu, dia terpikir merintis usaha pakaian dengan tetap mengusung budaya Jawa, tetapi dikemas lebih modern. Lalu pada 2019 lahirlah Markonah.
Semula Markonah sebatas nama sebagai merek lokal.
Setelah berproses mencari bentuk gambar rentang tahun 2017 sampai 2018, dengan konsep mewakili perempuan Jawa namun modern, baru perlahan ia mulai memproduksi pakaian.
“Dan proses itu berkali-kali. Jadi saya ini dasarnya cuma bisa menggambar kemudian pada rentang tahun 2017 ke 2018 itu saya juga belajar desainn grafis lewat kursus. Karena di pikiran saya, mau seperti apa sih sosok Markonah ini, dan benar-benar bentuknya ketemu sesuai dengan semangat dan visi saya akhir 2019,” kata Aqnie.
Kepada Tribun Jateng, Aqnie ingin tetap menyertakan nuansa budaya Jawa pada Markonah, meski pernah mengalami kebangkrutan usaha gegara produk yang dijual dinilai ketinggalan tren, karena benar-benar ingin melestarikan budaya Jawa.
Alasan lainnya, ia sejak kecil dididik mencintai budaya Jawa.
Bahkan semasa SMP, dia aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler menari Jawa dan ketika SMA bergabung di kelompok seni karawitan.
Perempuan asal Kota Semarang itu menjelaskan, selain mengusung budaya Jawa pada setiap produk Markonah juga menggunakan bahan yang ramah lingkungan atau biasa disebut dengan living urban di dalam dunia fashion. Untuk produk Markonah kategori premium menggunakan kain jenis silk, sebagiannya lagi memakai bahan yang eco friendly.
“Tapi yang membuat premium itu gambaran tangannya karena orisinil digambar menggunakan tangan atau istilah kami teknik hand-drawn, bukan dicetak pakai digital printing. Kemudian, ada sebagian produk memanfaatkan bahan serat organik sehingga jika kain menjadi limbah mudah terurai,” imbuhnya.
Lulusan Program Studi Managemen Bisnis Universitas Terbuka (UT) 2021 tersebut memaparkan, untuk sementara seluruh produk pakaian dari Markonah sekira 30 persennya berbahan ramah lingkungan.
Secara bertahap, dia akan meningkatkan menjadi sekira 50 persen. Hal itu tidak lain karena ingin ikut andil dalam menjaga lingkungan dengan membuat produk fashion tetapi menggunakan kain yang mudah terurai.
Pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan, lanjutnya, juga secara pemakaian terasa lebih nyaman ditambah casual sesuai dengan standar produk-produk dari Markonah.
Alhasil, berkat konsistensi mengusung budaya Jawa ditambah pemakaian bahan baku ramah lingkungan sejumlah penghargaan diraihnya. Terbaru, Aqnie masuk dalam 20 besar modest fashion founder Kemenparekraf tahun 2021.
“Lalu, tahun 2020 saya menjadi pemenang pengusaha muda brilian kategori the most active person dari BRI. Sejumlah penghargaan ini tentu menjadi penyemangat kami karena kami tergolong masih baru dan lingkupnya kecil UMKM yang bersaing dengan brand dan bisnis dengan kapital lebih besar. Sekarang kami juga sedang menjajaki kerja sama dengan investor dari Jakarta, dan Pomelo Fashion, marketplace asal Thailand,” ucapnya.
Pekerjakan Single Parent
Selama kurang lebih enam tahun menjalani bisnis, Aqnie tidak berbeda dengan pebisnis lainnya yang mengalami banyak suka duka serta pasang surut penghasilan.
Bahkan, semasa awal memulai bisnis bersama Markonah, dia kehabisan modal bersamaan pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
Meski demikian, Aqnie tidak patah semangat. Dia terus memproduksi barang untuk menutup kekurangan
Markonah pada saat itu, dengan membuat masker yang mengusung desain kekinian. Ia selalu yakin, badai pasti akan berlalu.
Belajar dari pengalaman serta kegagalan sebelumnya, dia terus berbenah dan belajar sampai akhirnya perlahan bisnisnya bangkit kembali.
“Kadangkala kami juga menutup toko untuk sementara waktu dulu awal corona. Karena saat itu pekerja baru satu masih bisa kami bicarakan bareng kondisi keuangan yang ada. Enaknya di situ. Terus, kami mikir, bagaimana ada pemasukan, lalu (kami pun) membuat masker, dan belajar memaksimalkan penjualan lewat online. Hasilnya, sekarang bisa punya pekerja kurang lebih delapan orang,” kenangnya.
Selain upaya pelestarian budaya Jawa yang paling mendasari berdirinya Markonah, Aqnie juga ingin membantu sesama perempuan, khususnya mereka yang berstatus single parent.
Oleh karena itu, seluruh pekerjanya hingga sekarang, mulai dari penjahit sampai staf administrasi, diisi para janda atau perempuan yang mengalami masalah stunting.
Dia menyebutkan, seorang perempuan yang bekerja dengan sesamanya, dianggap lebih mudah berkomunikasi apabila terjadi kendala.
Kemudian, dari sisi kinerja dinilai perempuan lebih teliti ketimbang laki-laki.
“Selebihnya, saya ingin sedikit banyak membantu mensejahterakan perempuan yang masuk dalam kelompok marjinal untuk dapat bertumbuh dan sama-sama kuat. Bagaimana perempuan ini maju,” katanya.
Aqnie menceritakan, dulu ada pekerjanya yang kurang percaya diri, padahal dia bisa menjahit.
“Kemudian saya ajak, sekarang alhamdulillah lebih dihargai keluarganya karena memiliki penghasilan,” katanya.
Dalam mencari karyawan, bagi Aqnie, yang terpenting mereka mau sama-sama belajar.
“Saya memang tidak mencari yang good looking atau bagaimana. Jika yang seperti itu sudah banyak dipakai orang (perusahaan). Mereka yang kurang ini nanti gimana, awalnya seperti begitu pikiran saya,” terangnya. (*)
Biodata Yuliani Aqni/ Aqnie Anne
Tempat, dan tanggal lahir : Semarang, 19 Juli 1981
Hobi : Menggambar dan tenis
Organisasi : Indonesia Fashion Chamber, Community Chapter Semarang
Perusahaan : Founder Markonah Indonesia
Sumber https://jateng.tribunnews.com/2021/10/31/aqnie-anne-lestarikan-budaya-jawa-via-mode-bergaya-milenial-lewat-markonah?page=4